• Translator

  • Kategori

  • Arsip

  • Jaring Sosial

  • Komentar Terbaru

    mbramantya pada Penciptaan Manusia
    sayyid pada Penciptaan Manusia
    Antena Tv Wajanbolic pada KIAI HAJI NOER ALIE (Alm) TOKO…
    Bang Uddin pada Maksud Menikah Setengah dari…
    mbramantya pada Sono, Pencuci Piring Jadi Jura…

Belajar Memaknai Hidup dari Seorang Hee Ah Lee

Senin, 10 Agustus 2009 | 09:22 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary

“Saat kita menerima keterbatasan, saat itulah kita melampauinya.”  (Albert Einstein)

KOMPAS.com — Jari jemari Hee Ah Lee (24) tampak lincah bergerak di atas tuts-tuts piano. Alunan sempurna “Joyful” karya Beethoven terdengar indah, begitu indah. Menyejukkan jiwa. Alunan sempurna yang hadir dari kepiawaian jari jemari memainkan tuts. Alunan sempurna yang hadir dari jari jemari yang tak sempurna. Malam itu, Kamis (6/8), Hee tampil di hadapan Ibu Negara, Ani Yudhoyono, dan puluhan anak berkebutuhan khusus seperti dirinya. Ia tampak anggun dengan balutan gaun berwarna biru yang bercorak batik.

Hee Ah Lee, seorang pianis asal Korea, memang mencengangkan dunia. Terlahir sebagai penderita ectrodoctyly atau dikenal dengan lobster claw syndrome (sindrom capit lobster), kedua tangan Hee Ah hanya memiliki dua jari yang bentuknya menyerupai capit dan huruf “V”. Kedua kaki Hee Ah juga tak sempurna, hanya sebatas lutut.

Kelainan pada tangan dan kaki ini langka. Tidak terdapat celah di tempat metakarpal jari seharusnya berada. Kondisi yang alaminya juga tergolong langka karena hanya ada satu kasus dari setiap 10.000 kelahiran. Bahkan, ada yang menyebutkan 1:18.000 kelahiran. Akan tetapi, ketidaksempurnaan itu tak pernah menghalangi Hee Ah menjadi “sesuatu”.

Dalam sebuah kesempatan wawancara khusus dengan Kompas.com, Jumat (7/8), Hee Ah bercerita tentang Tuhan, ibu, dirinya, piano, dan mimpinya.

Nama yang sarat makna

Hee Ah lahir pada 9 Juli 1985 dari seorang ibu bernama Woo Kap Sun dan ayahnya yang sudah meninggal adalah seorang bekas tentara. Nama Hee Ah Lee, yang ditabalkan orangtuanya, sarat makna. Hee berarti suka cita atau kegembiraan. Ah adalah tunas pohon yang terus mekar, dan Lee merupakan nama keluarga. Pantas saja jika Hee Ah selalu menebar bahagia.

“Saya suka berbagi kebahagiaan, bertemu banyak orang, bermain dan bercanda. Itu semua membuat hidup saya bermakna,” kata Hee Ah, saat berbincang di Hotel Sari Pan Pacific, tempatnya bermalam selama di Jakarta.

Kemudian, ia mengisahkan bahwa perkenalannya dengan piano sejak ia berusia 6 tahun. Awalnya, berlatih piano merupakan bagian dari terapi untuk memberikan tenaga pada jarinya.

“Tapi akhirnya, saya tidak menyangka bisa bermain piano di sini, juga di berbagai negara,” ujar Hee Ah.

Puluhan negara sudah didatanginya, dan kali ini merupakan kali ketiga ia tampil di depan publik Indonesia. Hee lantas bercerita, ia sangat menggemari karya Chopin. Bahkan, sebuah karya Chopin, “Fantasie Impromptu”, ia pelajari selama 5 tahun.

“Untuk fasih memainkannya, saya berlatih 10 jam sehari dalam 5 tahun. Andai saya terlahir lebih dulu, saya pasti akan bahagia jika bertemu Chopin,” kisah Hee Ah.

Bagi Hee Ah, piano sudah seperti “pacar”.  Kata dia, pianolah yang menjembatani pertemuannya dengan banyak orang di berbagai negara. Piano juga membuatnya bersyukur atas anugerah Tuhan pada dirinya. Selain piano, siapa lagi yang paling memberi arti dalam hidup Hee Ah?
“Aku terlahir hanya dengan empat jari tangan. Dan, kaki sebatas lutut. Namun, aku mahir memainkan piano, dari karya Mozart sampai Chopin. Karena aku punya seorang ibu yang luar biasa. Yang membuatku mampu melampaui keterbatasanku”.  (Hee Ah Lee, dalam ‘The Four Fingered Pianist’)

KOMPAS.com — Perjalanan Hee Ah Lee dan pianonya tak semulus yang dikira. Dalam buku biografi yang ditulis Kurnia Effendi, Hee Ah dan ibunya, Woo Kap Sun, melalui masa-masa sulit saat Hee Ah mogok bermain piano di usia 13 tahun. Selama setahun, ia tenggelam dari berbagai konser. Hingga akhirnya, saat banyak orang mempertanyakan keberadaannya, Hee Ah seakan mendapatkan energi untuk kembali tampil, melantunkan repertoar indah, lewat jari jemarinya.

Maka, selain Tuhan yang selalu membimbing, Hee Ah menganggap sosok ibu merupakan sosok yang paling berjasa. “Saya dan ibu sudah seperti jarum dan benang,” kata Hee Ah, saat berbincang dengan Kompas.com, akhir pekan lalu.

Ibu baginya tak sekadar sosok yang melahirkannya ke dunia. Kepada wanita berusia 52 tahun itu, Hee Ah sudah seperti kakak-adik, dan bahkan seperti sahabat. “Ibu saya, kadang jadi mami, kadang seperti kakak-adik,” cerita Hee Ah dengan mata berbinar ketika bertutur tentang ibunya.

Sang ibulah yang begitu sabar membimbing dan menjaga semangat serta ketekunannya hingga Hee Ah menjadi “sesuatu” di tengah kekurangannya. Tak ada gurat tak percaya diri dari Hee Ah. Ia pun berprinsip, hidup harus berbagi kebahagiaan.

“Saya ingin membantu orang-orang di seluruh negara. Kalau bisa, seperti Michael Jackson yang membuat organisasi sosial. Saya ingin membuat organisasi yang membantu orang berkebutuhan khusus, apalagi untuk orang susah,” katanya seraya berharap agar keinginannya terwujud.

Membangun sebuah organisasi sosial menjadi satu mimpi di antara sederet mimpi Hee Ah lainnya. Sebagai warga Korea, ia memimpikan kembali bersatunya Korea Selatan dan Korea Utara. Untuk konser, Hee Ah memendam keinginan kembali ke Indonesia dan tampil di dua kota, Bandung dan Surabaya. “Doakan saja, saya bisa ke Indonesia lagi,” ujar Hee Ah.

Bertemu dengan orang-orang dari berbagai negara, berbagi kebahagiaan lewat dentingan pianonya, membuat Hee Ah mendapatkan semangat melanjutkan hidup. Sebagai wujud syukur, ia tak pernah berhenti berterima kasih kepada Tuhan. Sebuah kalung bergambar Yesus selalu digunakan Hee Ah dalam setiap kesempatan. “Tuhan yang memberikan kehidupan indah ini kepada saya,” ujarnya.

Kepada anak-anak, atau siapa pun yang dilahirkan tak sempurna secara fisik, Hee Ah menitipkan pesan. “Jangan pernah bersedih dengan yang tidak ada. Tapi tetaplah bersemangat dengan apa yang masih ada, yang kita punya,” kata Hee Ah menutup perbincangan.